Monday, January 9, 2017

2016

Tahun 2016 sepertinya menjadi tahun yang menegangkan bagi saya. Bagaimana tidak, tahun ini adalah tahun ‘hijrah’ bagi saya. Tahun dimana saya harus meninggalkan kota malang, kota tempat saya bernafas, bermain, menjadi remaja alay (sekarang sudah gak kok), patah hati, jatuh cinta hingga tempat saya berkeluh kesah. tahun dimana saya harus memutuskan mau jadi apa saya setelah ini. Tahun dimana saya berusaha untuk mencoba memutar kembali semua kenangan, bukan! bukan untuk menjadi orang yang baper dan gagal move on, tapi berusaha untuk memperbaiki. Tahun dimana saya berusaha untuk membuat berbagai alasan untuk menyerah, dan dengan bodohnya saya menurutinya hingga di tahun yang sama saya menyesali kebodohan saya itu. Tahun dimana saya tidak lagi bisa tidur dan beraktivitas satu kamar dengan kakak saya karena ia telah menemukan kekasih halalnya. Tahun dimana saya menjadi saksi sahabat terdekat saya memperjuangkan cintanya dan naik ke pelaminan. Tahun dimana saya berusaha untuk tak lagi menjadi penggemar oppa-oppa (walau akhirnya gagal ketika saya melihat update terbaru salah satu situs penyedia variety show). Intinya 2016 adalah tahun penuh perjuangan.

Salah satu hal yang paling tak terlupakan bagi saya adalah ketika saya memutuskan untuk pergi dari kota malang. Lupakan sejenak tentang bagaimana kota ini telah menjadi saksi bisu perjuangan cinta ataupun kehidupan saya. Pindah dari kota ini berarti saya tidak bisa lagi siap sedia 24 jam untuk orang-orang terdekat saya disini. Pindah dari kota ini berarti saya memutuskan untuk melanjutkan perjuangan yang sudah saya lakukan selama ini ataupun memulai perjuangan di jalan yang lain di kota yang lain. Pindah dari kota ini berarti saya harus bersiap menjadi seseorang yang lebih baik lagi saat saya (bisa jadi) kembali ke kota ini. Pindah dari kota ini berarti saya tak bisa lagi sesuka hati saya jalan bareng, berdiskusi dan berantem lucu dengan orang-orang yang ada di kota ini. Pindah dari kota ini berarti saya tak lagi bisa menjadi juru bahasa isyarat dan volunteer sesuka hati saya. Pindah dari kota ini berarti saya tak lagi menjadi anggota aktif komunitas akar tuli.

Pindah ke tempat yang lebih baik seharusnya jadi momentum bagi kita untuk merefleksi sejauh mana kita telah berkembang, sejauh mana kita bisa bertahan dan sejauh mana kita bisa ‘mekar’. Pindah ke tempat yang lebih baik seharusnya mendorong kita untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Pindah ke tempat yang lebih baik seharusnya menjadi tantangan bagi kita untuk memenuhi harapan orang lain. Pindah ke tempat yang lebih baik seharusnya menjadi kesempatan kita untuk belajar lebih banyak lagi.

Namun ternyata pindah ke tempat yang lain dan jauh dari komunitas akar tuli membuat saya sadar beberapa hal. Pindah ke lingkungan yang ‘netral’ namun memberikan tuntutan beberapa tanggung jawab menjadikan saya sadar bahwa ada satu hal yang bisa saya lakukan untuk membantu komunitas akar tuli maupun teman-teman tuli di Indonesia. Hal itu adalah membuat penelitian maupun artikel yang berhubungan dengan ketulian. Penelitian maupun artikel dengan topik ketulian di Indonesia itu sangatlah jarang. Itu sudah saya lalui ketika membuat skripsi dulu, hal yang sama juga terjadi ketika saya berusaha mencari topik-topik yang berhubungan dengan ketulian. Kalaupun ada (CMIIW), penelitian di Indonesia berkisar tentang terapi maupun komunikasi efektif untuk siswa tuli. Padahal, penelitian ataupun artikel bisa menjadi jalan bagi saintis, penggiat pendidikan maupun komunitas untuk membuat inovasi dan tentunya berujung pada kesadaran masyarakat tentang ketulian tersebut dan kemajuan aksesibilitas bagi tuli di Indonesia. Penelitian akan membuat jalan bagi peneliti berikutnya untuk terus mengembangkan pemikiran, memperbaiki dan mengembangkan teknologi yang bisa menjadi aksesibilitas masyarakat. Sejujurnya menurut saya banyak hal yang bisa menjadi fokus dari penelitian yang berhubungan dengan ketulian, khususnya jika kita mengangkat topik-topik umum namun sangat mendasar bagi masyarakat tuli. Pernyataan saya ini bukan untuk menjadikan teman-teman tuli menjadi ‘obyek’ penelitian. BUKAN! Pernyataan saya ini mengarahkan pada ‘membuat penelitian yang berhubungan dengan ketulian juga bisa menjadi salah satu cara untuk menyadarkan saintis, pemaku kebijakan, pelajar bahkan masyarakat mengenai kehidupan ketulian’. Setelah membuat salah satu tugas yang berhubungan dengan neurosains dan mencoba membaca berbagai literatur ilmiah yang berhubungan dengan komunikasi tuli (bukan sekedar nyaman tidaknya, namun berhubungan dengan pengaruh ketulian ke dalam proses pengolahan informasi di otak), saya kok jadi membayangkan jika ada satu orang yang ngotot menyatakan ‘komunikasi verbal adalah komunikasi yang terbaik bagi seorang tuli’, maka seorang tuli dengan berani bertanya ‘mana buktinya? apakah sudah ada bukti ilmiahnya? Jika sudah ada, baru saya percaya’. well, contoh terakhir bukan menggambarkan sindiran saya loh.

nb: Tuisan ini ditulis dalam rangka kegiatan pergantian tahun ataupun kenangan membahagiakan di tahun 2016. Tapi setelah saya menulis, mengedit, mengendapkannya selama 2 hari, membaca dan mengeditnya lagi, sepertinya tulisan ini lebih ke arah refleksi dan reminder bagi diri saya. Bantu saya untuk tetap bertahan di jalan ini ya. Saya percaya dukugan, doa dan motivasi dari orang sekitar sangat membantu seseorang untuk menjadi lebih baik. Selamat tahun baru! (fida)