Kalau
tidak kenal, pasti tidak sayang. Pepatah itu sudah kita tahu sejak kita masih
duduk di bangku sekolah dasar. Dan aku merasa bahwa pepatah itu memang betul.
Ketika kita tidak mengenal orang lain, maka tidak heran jika kita mungkin saja
merasa aneh, kaku atau bahkan benci terhadap orang itu. perasaan benci yang
sebenarnya hanya dari pemikiran sesaat itu aku yakin bisa berubah ketika kamu
berusaha mengenal lebih jauh tentang banyak hal. Mungkin kita mulai dari
masyarakat tuli.
Pertama,
Saya dan teman-teman saya adalah seorang tuli. TULI! Bukan tuna rungu. Bagi
sebagian besar dari kami yang sudah pernah masuk di berbagai organisasi tuli
menyadari bahwa kata-kata ‘tuna rungu’ tidak cocok bagi kami. Tuna artinya
gangguan atau sakit sementara itu rungu artinya mendengar. Jadi kalau kita
gabungkan artinya gangguan atau sakit dalam pendengaran. Betul, kami tidak bisa
menangkap informasi dalam hal suara, tapi jika kami disebut seseorang yang
sedang sakit adalah hal yang kurang tepat bagi kami. Sakit selalu identik
dengan dokter dan obat, atau bagi kami selalu identik dengan terapis dan
terapi-terapi yang menyakitkan atau mungkin alat bantu dengar yang terkadang
membuat kami pusing. Itulah sebabnya kami selalu menghindari dengan sebutan
tuna rungu dan tuna wicara, kami lebih senang menyebut diri kami sebagai TULI!
Kedua,
kami tidak bodoh. Kami tidak menyalahkan kalian yang masih sering menyebut kami
sebagai tuna rungu, tuna wicara, orang yang bodoh, orang yang selalu bermain
dan berbagai kata-kata negatif yang kalian pikirkan tentang seseorang seperti
kami. Kami merasa perkataan itu sebenarnya hanya karena pengaruh media yang
selama ini menceritakan kehidupan kami sebagai masyarakat yang butuh perhatian
khusus dengan kata-kata yang menjadikan seorang hearing menjadi kasihan terhadap kami. Padahal sebenarnya, kami
juga memiliki kesempatan berprestasi seperti kami. Tuli juga manusia
berpendidikan. Jika kami pintar, kami bisa menjuarai banyak hal. Tetapi jika
kami tidak memiliki bakat yang menonjol, kami akan menjadi murid biasa. Sama
seperti kalian, masyarakat hearing kan?
Jadi jika kami menjadi murid biasa yang minim prestasi, itu bukan karena kami
Tuli.
Ketiga,
normal dan tuli itu berbeda. Masyarakat masih berpikir bahwa kami adalah
golongan yang berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat hearing. Kami seakan terkucilkan dari kehidupan masyarakat ini
hanya karena kami menggunakan bahasa yang berbeda. Padahal jika kalian melihat
kehidupan kami sehari-hari dengan pemikiran yang netral, kalian pasti melihat
bahwa tidak ada perbedaan diantara kalian dan kami. Kalian, masyarakat hearing menggunakan bahasa verbal atau
oral untuk berkomunikasi, sementara kami, masyarakat tuli menggunakan bahasa
isyarat untuk berkomunikasi. Kalian, masyarakat hearing mengikuti pendidikan sesuai kurikulum pemerintah, mengikuti
UAN untuk lulus, UAS untuk naik kelas dan ujian masuk untuk masuk perkuliahan.
Sementara kami, masyarakat tuli juga mengikuti semua yang kalian lalui itu.
Kami
pikir masih banyak pandangan yang sebenarnya hanya mitos mengenai seseorang
yang memiliki ketulian. Pernyataan di atas juga tak harus memaksa kalian untuk
langsung mencintai tuli karena kami pikir semua itu hanya masalah waktu.
Seperti yang kami katakan di awal, tak kenal maka tak sayang. Semakin kalian
tak mengenal tentang kami, maka kalian akan semakin tak sayang pada kami atau
bahkan membenci kami. Ini bukan masalah kalian saja yang harus bergerak. Kami
juga sedang bergerak. Kami tidak ingin selalu dikucilkan dan mengucilkan diri.
Kami sekarang sedang bergerak untuk menyebarkan informasi sebenarnya mengenai
tuli kepada masyarakat hearing. Kami
percaya bahwa kita, kami dan kalian diciptakan oleh Allah sang Maha Sempurna
dan Maha Pengasih. Jadi saling mengasihilah kita karena kasih sayang lah yang
menjadikan kita sebagai manusia yang saling menyayangi.
Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment